(Artikel | Istri Boleh Mengambil Uang Suami, Ini Syaratnya !) – Mungkin diantara bunda sahabat as shidiq aqiqah ada yang bertanya-tanya. Bolehkah seorang istri mengambil uang sang suami ? Misal seperti karena sang suami sangat pelit sehingga istri kesulitan untuk mendapatkan uang belanja ?
Ulasan Istri Boleh Mengambil Uang Suami, Ini Syaratnya !
Terkait hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Kemudian Rasulullah pun bersabda bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
Ulama memberikan penjelasan terkait batasan dalam mengambil uang suami secara diam-diam ini. Dari Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa mengambil uang suami yang dibolehkan disini adalah sesuai dengan kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9: 509)
Tapi patut diketahui yah bun bahwa sifat yang disebut Hindun pada suaminya yakni Abu Sufyan itu pelit, bukan berarti suaminya tersebut orang yang betul-betul pelit yah. Bisa jadi pelitnya tersebut pada keluarganya karena uang yang ada diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Jadi, kurang tepat kalau menganggap Abu Sufyan adalah orang yang pelit secara mutlak yah. Demikian tutur Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhah Al-‘Allam, 8: 159.
Baca Juga :
- Doa Tasmiyah Anak dan Langkah Memberi Nama Islami yang Penuh Arti
- Inspirasi 30 Ucapan Aqiqah Islami yang Menyentuh Hati Keluarga
- Tips Persiapan Tasyakuran Kelahiran dan Bedanya dengan Aqiqah
- 6 Hal yang Harus Diperhatikan dalam Tasyakuran 7 Bulanan
- Merayakan Tasyakuran 4 Bulanan Kehamilan: Bacaan Do’a hingga Urutan Acaranya
Berangkat dari hadits di atas, ada beberapa poin penting yang bisa dipetik :
1- Hadits di atas menegaskan mengenai wajibnya seorang suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya hal ini tidak perlu diperdebatkan lagi karena sudah disepakati oleh para ulama.
2- Hadits di atas juga menegaskan jika seorang ayah itu wajib untuk menafkahi anaknya. Kewajiban nafkah itu sendiri ada sel anak tersebut: (a) masih kecil, (2) baligh namun dalam keadaan sakit atau masih belum mampu mencari nafkah. Jika anak tersebut sudah baligh dan sudah mampu dalam mencari nafkah, maka gugurlah kewajiban nafkah dari ayah.
3- Jika seandainya ada suami yang berkewajiban untuk memberi nafkah pada istrinya akan tetapi si istri tidak diberi karena sifat pelit sang suami, maka istri dalam islam diperbolehkan untuk mengambil harta sang suami tanpa sepengetahuannya. Karena nafkah untuk istri itu adalah haknya istri. Hal ini tidak berlaku jika nafkah istri terpenuhi dengan baik.
4- Besar nafkah yang dianggap dan mencukupi itu seperti apa, ini tergantung pada tempat dan waktu.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Dikatakan jumhur ulama bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’ Al-Fatawa, 34: 83)
5 Dalam pandangan ulama hanafiyah, standar kecukupan istri bergantung kepada kebutuhan istri pada biasanya. Karena dalam hadits ini rasulullah mengatakan pada Hindun, silakan ambil harta suaminya secukupnya.
Namun yang paling baik kita melihat keduanya yakni sesuai dengan kesanggupan suami dalam memberi dan standar kebutuhan si istri agar cukup.
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula).” (QS. Al-Baqarah: 236).
Ayat di atas bisa dikompromikan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkata pada Hindun,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” (HR. Bukhari, no. 5364).
Nah, berangkat dari dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah yakni kecukupan dalam menafkahi istri dan anak dengan baik, ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan, tempat dan zaman.
Selain itu juga harus dilihat dari kemampuan suami itu sendiri, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
6- Jika istri masih mampu mendapatkan kecukupan dari harta suami (meskipun nantinya ia mengambil diam-diam), jangan mudah berkata untuk meminta cerai yah bun.. sebab cerai bukanlah jalan keluar dari sulitnya nafkah.
7- Jika seorang isteri mengadukan hal ini kepada tokoh agama seperti kiyai, ustadz untuk meminta solusi maka hal ini bukan termasuk ghibah.
Demikianlah artikel kami mengenai Istri Boleh Mengambil Uang Suami, Ini Syaratnya ! Semoga bermanfaat !